A.
Penulisan (rasm) Al-Qur’an
Rasm
berasal dari kata rasama, yasramu,
berarti menggambarkan atau melukis. Istilah rasm dalam ‘ulumul al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang
digunakan Utsman ibn ‘Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan
membukukan al-Qur’an.
Kemudian pola penulisan
tersebut dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf
al-Qur’an. Pola penulisan ini kemudian lebih popular dengan nama rasm ‘Utsmani.
Poa penulisan rasm ‘Utsmani memiliki perbedaan dan
lain dengan kaidah-kaidah atau standar penulisan bahasa arab baku yang
berkembang didalam masyarakat modern. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut
:
1. Pengurangan-pengurangan
huruf (al-hadzf), seperti pengurangan
huruf waw (و)
dan alif (
١), misalnya : Q.S. al-Isra’(17) :11: ﻮﻴﺪﻉﺍﻹﻨﺴﺎﻥﺑﺎﻠﺸﺮﺪﻋﺎﺀﻩﺒﺎﻟﺨﻴﺮ
Kata ويدع pada ayat tersebut,
menurut kaidah penulisan baku mestiny tertulis عو ويد
2. Penambahan-penambahan
huruf, seperti huruf alif (
١) dan ya’ (ي)
Misalnya :
Q.S. Al-Kahfi : 23ﻭﻻﺘﻘﻮﻠﻦﻠﺸﺎﺉﺇﻨﻰﻔﺎﻋﻞﺫﻟﻙﻏﺩﺍ
Kata
ﻠﺸﺎﺉ pada ayat tersebut harus
mestinya tertulis ﻟﺸﺊ
3. Penggantian
satu huruf dengan huruf lain (al-badl), seperti mengganti huruf alif ( ١) dengan huruf waw (و), misalnya : Q.S.
Al-Baqarah : 43 ﻮﺃﻘﻴﻤﻭﺍﺍﻟﺼﻟﻮﺓﻭﺍﺘﻮﺍﺍﻟﺯﻜﻭﺓ
Kata ﺍﻟﺼﻟﻮﺓ pada ayat tersebut
mestinya tertulis ﺍﻟﺼﻼﺓ
4. Penggabungan
(al-washl) dan pemisahan (al-fashl), yaitu menggabungkansuatu
lafal dengan lafal lain yang biasanya terpisah, atau pemisahan suatu lafal
dengan lafal lain yang biasanya disatukan, misalnya : Q.S. Al-Qiyamah : 3 ﺃﻴﺤﺴﺐﺍﻹﻨﺴﺎﻦﺃﻟﻦﻨﺨﻣﻊﻋﻈﺎﻤﻪ
Kata
ﺃﻟﻦ pada ayat tersebut
mestinya tertulis ﺃﻦﻟﻦ
5. Ayat-ayat
yang mempunyai dua qira’at yang
berbeda, misalnya :
Q.S.
Al-fatihah : 4 ﻤﻟﻙﻴﻮﻢﺍﻟﺪﻴﻦ
Kata
ملك bisa dibaca ملك dan bisa pula dibaca ملك
Terdapat beberapa
pengecualian, atau inkonsistensi di dalam rasm
Utsmani, misalnya huruf alif (
١) yang penulisannya
diganti dengan huruf waw (و),
misalnya ﺍﻠﺮﺒﻭ ﺍﻠﺼﻟﻭﺓ , ﺍﻟﺯﻜﻭﺓ .ﺍﻠﺤﻴﻭﺓ ,Pola
penulisan pada kata-kata tersebut berbeda dengan penulisan ayat berikut :
Q.S. Ar-Rum : 39 ﻮﻤﺎﺍﺘﻴﺘﻢﻤﻦﺮﺑﺎﻟﻴﺮﺑﻮﺍﻓﻰﺃﻤﻮﺍﻞﺍﻟﻨﺎﺲ
Melihat bentuk
inkonsistensi pola penulisan rasm Utsmani, kalangan ulama menolak membandingkan
antara rasm tersebut dengan kaidah penulisan standar. Sebaiknya tidak dapat
pula rasm ‘Utsmani dijadikan pola
standar baku. Kelompok ini memberikan kekhususan pola penulisan rasm ‘Utsmani sebagaiman adanya.
Contoh-contoh inkonsistensi selanjutnya
dalam rasm Utsmani adalah sebagai berikut :
ﺇﻦﺍﻟﺼﻓﺎﻮﺍﻟﻤﺮﻮﺍﻨﻌﻤﺔﺍﻟﻟﻪﻻﺘﺤﺼﻮﻫﺎ
- ﺇﻦﺍﻟﺼﻓﺎﻮﺍﻟﻤﺮﻮﺍﻨﻌﻤﺔﺍﻟﻟﻪﻻﺘﺤﺼﻮﻫﺎ
1. Pola,
Hukum, dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Kedudukan
Rasm ‘Utsmani diperselisihkan para
ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad kalangan
sahabat.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa pola rasm
‘Utsmani bersifat tawqifi dengan
alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan di
percaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat
Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan (ijma’) dalam hal-hal yang yang bertentangan dengan kehendak dan
restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsistensi standar didalam penulisan Al-Qur’an
tidak bisa dilihat hanya berdasarkan standar penulisan baku, tetapi di balik
itu rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan
tersebut juga di pertahankan para sahabat dan tabi’in.
Sekelompok
ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rasm ‘Utsmani tidak bersifat tawqifi,
tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riwayat Nabi mengenai
ketentuan penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani :
“sesungguhnya Rasulullah SAW, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak
memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya
dengan pola-pola tertentu. Karena itu ada perbedaan model-model penulisan
Al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal Al-Qur’an
sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya, karena mereka
tahu itu hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola
penulisan masa lalu atau ke dalam pola-pola baru.”
Lagi
pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm
Utsmani. Belum lagi kalau ummi
Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis
datang dari Nabi. Tidak pernah di temukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun
sahabat bahwa pola penulisan Al-Qur’an
itu bersumber dari petunjuk Nabi.
Dengan
demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al-Qur’an versi mushaf ‘Utsmani
diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola
tersebut merupakan petunjuk petunjuk Nabi (tawqifi).
Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahai kaidah
penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hambal dan Imam Malik
berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Utsmani. Bagaimanapun pola tersebut
sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur
‘ulama).
Ulama
yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani
sebagai rasm tawqifi, berpendapat
bahwa tidak ada masalah jika Al-Qur’an dituis dengan pola standar (rasm imla’i). soal pola penulisan
diserahkan kepada pembaca; kalau pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla’i, ia akan dapat menulisnya
dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya symbol pembacaan, dan
tidak mempengaruhi makna Al-Qur’an
Sebagian
ulama lain mengkompromikan kedua pendapat diatas dengan mengatakan bahwa
penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’i
dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm Utsmani, tetap wajib mempertahnkan
keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat al-Zaqarani dengan mengatakan
bahwa rasm imla’i diperlukan untuk
menghindarkan umat dari kesalahan membaca, sedang rasm ‘Utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian mushaf
Al-Qur’an.
Para
pendukung rasm’Utsmani berusaha
memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan hikmah pola penulisan tersebut, dan
menunjuk beberapa contoh, misalnya :
Q.S.
Adz-Dzariyat : 47 ﻮﺍﻟﺴﻤﺎﺀﺒﻨﻴﻨﻬﺎﺒﺄﻴﻴﺩﻮﺇﻨﺎﻠﻣﻮﺴﻌﻮﻦ
Dalam
ayat ini tertulis ﺒﺄﻴﻴﺩ mempunyai kelebihan gigi
pada lafal ya’( ﻱ ), hikmahnya untuk mengisyaratkan kebesaran kekuasaan Allah
SWT. Khususnya dalam penciptaan langit.
Selain
itu, dimaksudkan pula untuk memberikan versi bacaan, misalnya :
Q.S.
Al-Baqarah : 9 ﻮﻣﺎﻳﺧﺩﻋﻮﻥﺇﻻﺃﻧﻔﺴﻬﻡ
Lafal ﻳﺧﺩﻋﻮﻥ dalam ayat itu bias
dibaca ﻳﺧﺎﺩﻋﻮﻥ dan
bisa pula dibaca ﻳﺧﺩﻋﻮﻥ. seandainya ditulis denga rasm
‘imla’i tentu tidak bisa di baca dengan
ﻳﺧﺩﻋﻮﻥ . di sinilah antara lain rahasia pola
penulisan rasm ‘Utsmani.
2. Perkembangan
Rasm Al-Qur’an
Pada mulanya mushaf
para sahabat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mereka mencatat wahyu
Al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena umumnya dimaksudkan hanya untuk
kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Diantara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan
Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dari tulisannya yang
hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti diketahui, pada
masa permulaan islam mushaf Al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan
baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi
tanda-tanda baca. Belum ada tanda-tanda titik, sehingga sulit membedakan antara
huruf ya’ ( ﻯ ) dan ba’
( ﺏ
). Demikian pula antara sin ( ﺲ ) dan syin ( ﺵ ), antara tha’ ( ﻄ ) dan zha’ ( ﻆ ), antara
jim ( ﺝ ), ha’ ( ﺡ ) dan kha’ ( ﺥ ), dan seterusnya. Para sahabat menemukan
kesulitan membacanya, karena mereka rata-rata masih mengandalkan hafalan.
Kesulitan mulai muncul
ketika dunia islam meluas kewilayah-wilayah non-arab, seperti Persia disebelah
timur, Afrika di sebelah selatan, dan beberapa wilayah non-arab di sebelah
barat. Masalah ini mulai di sadari oleh pemimpin dunia islam. Ketika Ziyad ibn
Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680
M). riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn abi Thalib. Ia
memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca, terutama
untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al-Qur’an bagi generasi yang tidak
hafal Al-Qur’an.
Al-Duwali memenuhi
permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus dalah pembacaan yang fatal,
yaitu :
Q.S. At-Taubah : 3 ﺍﻥﺍﻟﻟﻪﺒﺭﺉﻤﻥﺍﻟﻤﺴﺭﻛﻳﻥﻭﺭﺴﻮﻟﻪ
“sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Pada suatu ketika
seseorang membaca ayat tersebut dengan :
Q.S. At-Taubah : 3
ﺍﻥﺍﻟﻟﻪﺒﺭﺉﻤﻥﺍﻟﻤﺴﺭﻛﻳﻥﻭﺭﺴﻮﻟﻪ
“sesungguhnya
Allah Berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Al-Duwali memberikan
tanda baca bari atas (fathah) berupa titi di atas huruf ( ), sebuah titik di bawah huruf ( ),
sebagai tanda baris bawah (kasrah), tanda dhammah berupa wawu kecil ( ) di antara dua huruf, dan tanpa tanda
apa-apa huruf konsonan mati.
Selanjutnya rasm
mengalami perkembangan. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M).
memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf
Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an). Ia
mendelegasi tugas itu kepada Nashr ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ma’mur, keduanya
adalah murid Al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah
huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya,
misalnya penambahan titik diatas huruf dal ﺪ maka menjadi huruf dzal ﺫ .penambahan titik yang bervariasi pada
sejumlah huruf dasar ﺏ maka menjadi huruf ﺙ
,ﺕ, ﺏ dan huruf dasar ﺡ menjdai ﺮ
,ﺥ ,ﺡ ,ﺝ dibedakan dengan ﺲ
,ﺭ dibedakan dengan ﺹ
,ﺵ dibedakan dengan ﻁ
,ﺽ dibedakan dengan ﻉ
,ﻅ di bedakan dengan ﻑ
,ﻍ dibedakan dengan ﻕ .
Dari pola penulisan
tersebut akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk
seperti pola kufi, maghribi, Naqsh, dan
lain-lain.
B. Qira’ah
Al-Qur’an
Kata Qira’ah seakar
kata dengan Al-Qur’an, dari kata qara’a berarti membaca. Qira’ah adalah bentuk mashdar (verbal
noun) dari kata qara’a. Menurut istilah qira’ah adalah ilmu yang mengetahui
tata cara pengucapan lafal Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang
diperdebatkan para ahli qira’at, seperti penggunaan huruf (hadzaf), penetapan
huruf (itsbat), pemberian harakat (tahrik), pemberian tanda sukun (taskin),
pemisah huruf (fashl), penyambung huruf (washl), penggantian lafal-lafal
tertentu (ibdal), dan lain-lain yang diperoleh melalui indera pendengaran.
Qira’ah berbeda dengan
tajwid. Qira’ah menyangkut cara pengucapan lafal, kalimat, dan dialek (lahjah)
kebahasaan Al-Qur’an. Sedangkan tajwid, sesuai dengan pengertiannya, adalah
pengucapan huruf Al-Qur’an secara tertib, sesuai dengan makhraj dan bunyi
asalnya. Jadi, tajwid menyangkut tata cara dan kaidah-kaidah teknis yang
dilakukan untuk memperindah bacaan Al-Qur’an.
Informasi tentang
qira’ah diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’i) dari
Nabi oleh para sahabat mengenai bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian ditiru dan
diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudahnya hingga sekarang. Cara lain
ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadits-hadits yang disandarkan
kepada Nabi atau Sahabat-sahabatnya.
Qira’ah mempunyai
beberapa versi, dan munculnya perbedaan itu disebabkan oleh beberapa faktor
sebagai berikut :
a. Perbedaan
syakl, harakah atau huruf. Karena mushaf-mushaf terdahulu tidak menggunakan
syakl dan harakah, maka imam-imam qira’ah membantu memberikan bentuk-bentuk
qira’ah. Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah / 2:222;
ﻭﻻﺘﻘﺭﻫﻥﺤﺗﻰﻴﻄﻬﺭﻥ
Kata ﻴﻄﻬﺭﻥ bisa dibaca
ﻴﻄﻬﺭﻥ dan bisa pula dibaca ﻴﻄﻬﺭﻥ .
Jika
dibaca qira’ah pertama, maka berarti : “dan janganlah kamu mendekati mereka
(istri-istrimu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih
dahulu). Sedangkan qira’ah kedua berarti : “dan janganlah kamu mendekati mereka
(istri-isterimu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib
terlebih dahulu).”
b. Nabi
sendiri melantunkan berbagai versi qira’ah di depan sahabat-sahabatnya.
Misalnya Nabi pernah membaca Q.S. al-Rahman/55:76:
ﻣﺗﮑﺌﻴﻥﻋﻟﻰﺭﻓﺭﻑﺨﺿﺭﻭﻋﺑﻗﺭﻯﺤﺴﺎﻥ
Lafal ﺭﻓﺭ dan ﻭﻋﺑﻗﺭﻯ juga pernah dibaca ﺭﻓﺭﻑ dan ﻋﺑﺎﻗﺭﻯ .
c. Adanya
pengakuan Nabi (taqrir) terhadap berbagai versi qira’ah para sahabatnya.
Misalnya kata ﺤﻴﻥ dalam Q.S. Yusuf /12:35 ada diantara sahabat
membacanya ﻋﻳﻥ .
d. Perbedaan
riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut bacaan ayat-ayat tertentu.
e. Karena
perbedaan dialek (lahjah) dari berbagai unsure etnik di masa Nabi.
Jumlah qira’ah yang
masyhur ada tujuh macam, lebih dikenal dengan qira’ah sab’ah, yaitu qira’ah ibn
‘Amir, qira’ah ibn Katsir, qira’ah ‘Ashim, qira’ah, qira’ah Abu ‘Amr, qira’ah
Hamzah, qira’ah Nafi’, dan qira’ah al-Kasa’i. imam-imam qira’ah ini mempunyai
versi qira’ah masing-masing. Misalnya Q.S. Al-Baqarah/2:83:
ﻭﻗﻭﻟﻭﺍﻟﻟﻨﺎﺱﺤﺴﻨﺎ
Ibn Katsir, Abu ‘Amr,
Nafi’, ‘Ashim, dan ibn ‘Amir, membaca
ﺤﺴﻨﺎ sedangkan Hamzah dan al-Kisa’i membaca ﺤﺴﻨﺎ .
Perbedaan qira’ah
tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan konsep orisinalitas Al-Qur’an,
karena semua itu didukung oleh petunjuk Nabi Muhammad SAW. Lagi pula, selain
perbedaan itu jumlahnya sangat terbatas, juga mempunyai hikmah untuk memberikan
kemudahan dalam pembacaan dan sekaligus menunjukkan keluasan makna Al-Qur’an,
sebagai akibat dari perbedaan qira’ah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar