Minggu, 01 Juli 2012

Rasm' Al-Qur'an


A.           Penulisan (rasm) Al-Qur’an

Rasm berasal dari kata rasama, yasramu, berarti menggambarkan atau melukis. Istilah rasm dalam ‘ulumul al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Utsman ibn ‘Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an.
Kemudian pola penulisan tersebut dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf al-Qur’an. Pola penulisan ini kemudian lebih popular dengan nama rasm ‘Utsmani.
Poa penulisan rasm ‘Utsmani memiliki perbedaan dan lain dengan kaidah-kaidah atau standar penulisan bahasa arab baku yang berkembang didalam masyarakat modern. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Pengurangan-pengurangan huruf (al-hadzf), seperti pengurangan huruf waw (و) dan alif ( ١), misalnya :  Q.S. al-Isra’(17) :11: ﻮﻴﺪﻉﺍﻹﻨﺴﺎﻥﺑﺎﻠﺸﺮﺪﻋﺎﺀﻩﺒﺎﻟﺨﻴﺮ
Kata     ويدع  pada ayat tersebut, menurut kaidah penulisan baku mestiny tertulis عو   ويد
2.      Penambahan-penambahan huruf, seperti huruf alif ( ١) dan ya’ (ي) Misalnya :   
Q.S. Al-Kahfi : 23ﻭﻻﺘﻘﻮﻠﻦﻠﺸﺎﺉﺇﻨﻰﻔﺎﻋﻞﺫﻟﻙﻏﺩﺍ     
Kata ﻠﺸﺎﺉ   pada ayat tersebut harus mestinya tertulis   ﻟﺸﺊ
3.      Penggantian satu huruf dengan huruf lain (al-badl), seperti mengganti huruf alif ( ١) dengan huruf waw (و), misalnya : Q.S. Al-Baqarah : 43    ﻮﺃﻘﻴﻤﻭﺍﺍﻟﺼﻟﻮﺓﻭﺍﺘﻮﺍﺍﻟﺯﻜﻭﺓ
Kata     ﺍﻟﺼﻟﻮﺓ   pada ayat tersebut mestinya tertulis   ﺍﻟﺼﻼﺓ
4.      Penggabungan (al-washl) dan pemisahan (al-fashl), yaitu menggabungkansuatu lafal dengan lafal lain yang biasanya terpisah, atau pemisahan suatu lafal dengan lafal lain yang biasanya disatukan, misalnya : Q.S. Al-Qiyamah : 3   ﺃﻴﺤﺴﺐﺍﻹﻨﺴﺎﻦﺃﻟﻦﻨﺨﻣﻊﻋﻈﺎﻤﻪ
Kata    ﺃﻟﻦ    pada ayat tersebut mestinya tertulis   ﺃﻦﻟﻦ

5.      Ayat-ayat yang mempunyai dua qira’at yang berbeda, misalnya :
Q.S. Al-fatihah : 4      ﻤﻟﻙﻴﻮﻢﺍﻟﺪﻴﻦ
Kata ملك  bisa dibaca ملك dan bisa pula dibaca ملك
Terdapat beberapa pengecualian, atau inkonsistensi di dalam rasm Utsmani, misalnya huruf alif ( ١) yang penulisannya diganti dengan huruf  waw (و), misalnya  ﺍﻠﺮﺒﻭ ﺍﻠﺼﻟﻭﺓ , ﺍﻟﺯﻜﻭﺓ  .ﺍﻠﺤﻴﻭﺓ ,Pola penulisan pada kata-kata tersebut berbeda dengan penulisan ayat berikut :
Q.S. Ar-Rum : 39    ﻮﻤﺎﺍﺘﻴﺘﻢﻤﻦﺮﺑﺎﻟﻴﺮﺑﻮﺍﻓﻰﺃﻤﻮﺍﻞﺍﻟﻨﺎﺲ
Melihat bentuk inkonsistensi pola penulisan rasm Utsmani, kalangan ulama menolak membandingkan antara rasm tersebut dengan kaidah penulisan standar. Sebaiknya tidak dapat pula rasm ‘Utsmani dijadikan pola standar baku. Kelompok ini memberikan kekhususan pola penulisan rasm ‘Utsmani sebagaiman adanya.
Contoh-contoh inkonsistensi selanjutnya dalam rasm Utsmani adalah sebagai berikut :

ﺇﻦﺍﻟﺼﻓﺎﻮﺍﻟﻤﺮﻮﺍﻨﻌﻤﺔﺍﻟﻟﻪﻻﺘﺤﺼﻮﻫﺎ -  ﺇﻦﺍﻟﺼﻓﺎﻮﺍﻟﻤﺮﻮﺍﻨﻌﻤﺔﺍﻟﻟﻪﻻﺘﺤﺼﻮﻫﺎ

1.      Pola, Hukum, dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Kedudukan Rasm ‘Utsmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad kalangan sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa pola rasm ‘Utsmani bersifat tawqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan di percaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan (ijma’) dalam hal-hal yang yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsistensi standar didalam penulisan Al-Qur’an tidak bisa dilihat hanya berdasarkan standar penulisan baku, tetapi di balik itu rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga di pertahankan para sahabat dan tabi’in.
Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rasm ‘Utsmani tidak bersifat tawqifi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riwayat Nabi mengenai ketentuan penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “sesungguhnya Rasulullah SAW, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena itu ada perbedaan model-model penulisan Al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal Al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya, karena mereka tahu itu hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau ke dalam pola-pola baru.”
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm Utsmani. Belum lagi kalau ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah di temukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat  bahwa pola penulisan Al-Qur’an itu bersumber dari petunjuk Nabi.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al-Qur’an versi mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk petunjuk Nabi (tawqifi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahai kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hambal dan Imam Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Utsmani. Bagaimanapun pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ‘ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tawqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al-Qur’an dituis dengan pola standar (rasm imla’i). soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca; kalau pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla’i, ia akan dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya symbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al-Qur’an
Sebagian ulama lain mengkompromikan kedua pendapat diatas dengan mengatakan bahwa penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm Utsmani, tetap wajib mempertahnkan keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat al-Zaqarani dengan mengatakan bahwa rasm imla’i diperlukan untuk menghindarkan umat dari kesalahan membaca, sedang rasm ‘Utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an.
Para pendukung rasm’Utsmani berusaha memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan hikmah pola penulisan tersebut, dan menunjuk beberapa contoh, misalnya :
Q.S. Adz-Dzariyat : 47     ﻮﺍﻟﺴﻤﺎﺀﺒﻨﻴﻨﻬﺎﺒﺄﻴﻴﺩﻮﺇﻨﺎﻠﻣﻮﺴﻌﻮﻦ
Dalam ayat ini tertulis  ﺒﺄﻴﻴﺩ  mempunyai kelebihan gigi pada lafal ya’( ), hikmahnya untuk mengisyaratkan kebesaran kekuasaan Allah SWT. Khususnya dalam penciptaan langit.
Selain itu, dimaksudkan pula untuk memberikan versi bacaan, misalnya :
Q.S. Al-Baqarah : 9   ﻮﻣﺎﻳﺧﺩﻋﻮﻥﺇﻻﺃﻧﻔﺴﻬﻡ      
Lafal   ﻳﺧﺩﻋﻮﻥ  dalam ayat itu bias dibaca  ﻳﺧﺎﺩﻋﻮﻥ dan bisa pula dibaca   ﻳﺧﺩﻋﻮﻥ. seandainya ditulis denga rasm ‘imla’i tentu tidak bisa di baca dengan  ﻳﺧﺩﻋﻮﻥ . di sinilah antara lain rahasia pola penulisan rasm ‘Utsmani.

2.      Perkembangan Rasm Al-Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mereka mencatat wahyu Al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Diantara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dari tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti diketahui, pada masa permulaan islam mushaf Al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda-tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ ( ) dan ba’ ( ). Demikian pula antara sin ( ) dan syin ( ), antara tha’ ( ) dan zha’ ( ), antara jim ( ), ha’ ( ) dan kha’ ( ), dan seterusnya. Para sahabat menemukan kesulitan membacanya, karena mereka rata-rata masih mengandalkan hafalan.
Kesulitan mulai muncul ketika dunia islam meluas kewilayah-wilayah non-arab, seperti Persia disebelah timur, Afrika di sebelah selatan, dan beberapa wilayah non-arab di sebelah barat. Masalah ini mulai di sadari oleh pemimpin dunia islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M). riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn abi Thalib. Ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al-Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al-Qur’an.
Al-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus dalah pembacaan yang fatal, yaitu :
Q.S. At-Taubah : 3   ﺍﻥﺍﻟﻟﻪﺒﺭﺉﻤﻥﺍﻟﻤﺴﺭﻛﻳﻥﻭﺭﺴﻮﻟﻪ
“sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.

Pada suatu ketika seseorang membaca ayat tersebut dengan :
Q.S. At-Taubah : 3
ﺍﻥﺍﻟﻟﻪﺒﺭﺉﻤﻥﺍﻟﻤﺴﺭﻛﻳﻥﻭﺭﺴﻮﻟﻪ
“sesungguhnya Allah Berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.

Al-Duwali memberikan tanda baca bari atas (fathah) berupa titi di atas huruf (   ), sebuah titik di bawah huruf (   ), sebagai tanda baris bawah (kasrah), tanda dhammah berupa wawu kecil (    ) di antara dua huruf, dan tanpa tanda apa-apa huruf konsonan mati.
Selanjutnya rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M). memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an). Ia mendelegasi tugas itu kepada Nashr ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ma’mur, keduanya adalah murid Al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal    maka menjadi huruf dzal  .penambahan titik yang bervariasi pada sejumlah huruf dasar maka menjadi huruf  ﺙ ,ﺕ, ﺏ  dan huruf dasar    menjdai  ﺮ ,ﺥ ,ﺡ ,ﺝ   dibedakan dengan  ﺲ ,ﺭ   dibedakan dengan   ﺹ ,ﺵ   dibedakan dengan  ﻁ ,ﺽ   dibedakan dengan  ﻉ ,ﻅ   di bedakan dengan  ﻑ ,ﻍ  dibedakan dengan    .
Dari pola penulisan tersebut akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi, Naqsh, dan lain-lain.

B.  Qira’ah Al-Qur’an
Kata Qira’ah seakar kata dengan Al-Qur’an, dari kata qara’a berarti membaca. Qira’ah adalah bentuk mashdar (verbal noun) dari kata qara’a. Menurut istilah qira’ah adalah ilmu yang mengetahui tata cara pengucapan lafal Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperdebatkan para ahli qira’at, seperti penggunaan huruf (hadzaf), penetapan huruf (itsbat), pemberian harakat (tahrik), pemberian tanda sukun (taskin), pemisah huruf (fashl), penyambung huruf (washl), penggantian lafal-lafal tertentu (ibdal), dan lain-lain yang diperoleh melalui indera pendengaran.
Qira’ah berbeda dengan tajwid. Qira’ah menyangkut cara pengucapan lafal, kalimat, dan dialek (lahjah) kebahasaan Al-Qur’an. Sedangkan tajwid, sesuai dengan pengertiannya, adalah pengucapan huruf Al-Qur’an secara tertib, sesuai dengan makhraj dan bunyi asalnya. Jadi, tajwid menyangkut tata cara dan kaidah-kaidah teknis yang dilakukan untuk memperindah bacaan Al-Qur’an.
Informasi tentang qira’ah diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’i) dari Nabi oleh para sahabat mengenai bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudahnya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi atau Sahabat-sahabatnya.
Qira’ah mempunyai beberapa versi, dan munculnya perbedaan itu disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a.       Perbedaan syakl, harakah atau huruf. Karena mushaf-mushaf terdahulu tidak menggunakan syakl dan harakah, maka imam-imam qira’ah membantu memberikan bentuk-bentuk qira’ah. Misalnya dalam Q.S. Al-Baqarah / 2:222;
ﻭﻻﺘﻘﺭﻫﻥﺤﺗﻰﻴﻄﻬﺭﻥ
Kata  ﻴﻄﻬﺭﻥ   bisa dibaca  ﻴﻄﻬﺭﻥ    dan bisa pula dibaca   ﻴﻄﻬﺭﻥ   .
Jika dibaca qira’ah pertama, maka berarti : “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu). Sedangkan qira’ah kedua berarti : “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-isterimu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu).”
b.      Nabi sendiri melantunkan berbagai versi qira’ah di depan sahabat-sahabatnya. Misalnya Nabi pernah membaca Q.S. al-Rahman/55:76:
ﻣﺗﮑﺌﻴﻥﻋﻟﻰﺭﻓﺭﻑﺨﺿﺭﻭﻋﺑﻗﺭﻯﺤﺴﺎﻥ
Lafal   ﺭﻓﺭ    dan  ﻭﻋﺑﻗﺭﻯ   juga pernah dibaca  ﺭﻓﺭﻑ    dan   ﻋﺑﺎﻗﺭﻯ       .
c.       Adanya pengakuan Nabi (taqrir) terhadap berbagai versi qira’ah para sahabatnya. Misalnya kata  ﺤﻴﻥ   dalam Q.S. Yusuf /12:35 ada diantara sahabat membacanya  ﻋﻳﻥ .
d.      Perbedaan riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut bacaan ayat-ayat tertentu.
e.       Karena perbedaan dialek (lahjah) dari berbagai unsure etnik di masa Nabi.

Jumlah qira’ah yang masyhur ada tujuh macam, lebih dikenal dengan qira’ah sab’ah, yaitu qira’ah ibn ‘Amir, qira’ah ibn Katsir, qira’ah ‘Ashim, qira’ah, qira’ah Abu ‘Amr, qira’ah Hamzah, qira’ah Nafi’, dan qira’ah al-Kasa’i. imam-imam qira’ah ini mempunyai versi qira’ah masing-masing. Misalnya Q.S. Al-Baqarah/2:83:
ﻭﻗﻭﻟﻭﺍﻟﻟﻨﺎﺱﺤﺴﻨﺎ
Ibn Katsir, Abu ‘Amr, Nafi’, ‘Ashim, dan ibn ‘Amir, membaca      ﺤﺴﻨﺎ   sedangkan Hamzah dan al-Kisa’i membaca    ﺤﺴﻨﺎ   .
Perbedaan qira’ah tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan konsep orisinalitas Al-Qur’an, karena semua itu didukung oleh petunjuk Nabi Muhammad SAW. Lagi pula, selain perbedaan itu jumlahnya sangat terbatas, juga mempunyai hikmah untuk memberikan kemudahan dalam pembacaan dan sekaligus menunjukkan keluasan makna Al-Qur’an, sebagai akibat dari perbedaan qira’ah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar